Rabu, 23 September 2020

Kegiatan Literasi Cegah Demensia

 

Kegiatan Literasi Cegah Demensia

Oleh : Rina Devina

Saya yakin banyakdari kita sudah pernah  mendengar kata Demensia, juga banyak dari kita yang pasti mengerti artinya. Namun saya yakin banyak dari kita yang masih menganggap sepele dan tidak mempersiapkan diri untuk mengahadapi resiko dari demendia itu sendiri. Melansir situs Alzheimer’s Indonesia, kata Demensia menggambarkan serangkaian gejala, yaitu kondisi saat kita kehilangan memori, kesulitan berpikir dan melakukan pemecahan masalah, bahkan bahasa. Demensia terjadi ketika otak mengalami kerusakan karena penyakit, seperti penyakit Alzheimer ataupun serangkaian penyakit stroke.

Penyakit Alzheimer adalah penyebab paling umum dari keluhan demensia atau pikun. selama keluhan demensia berlangsung, zat kimia dan struktur otak berubah sehingga menyebabkan kematian sel-sel otak. Dalam rangka memperingati hari Alzheimer Sedunia atau World Alzheimer Day yang jatuh pada setiap tanggal 21 September setiap tahunnya, maka tidak ada salahnya kita membahas penyakit yang berhubungan dengan fungsi otak ini dan hubungannya dengan kegitan literasi. Semoga dengan mengetahui hubungan positif ini kita semakin mengerti cara penanggulangannya sejak dini.

 Penyakit Alzheimer pertama kali ditemukan dan dijelaskan oleh seorang ahli saraf berkebangsaan Jerman, yaitu Alois Alzheimer. Yang merupakan salah satu penyakit fisik yang berkaitan dan mempengaruhi kerja dan fungsi otak. Banyak orang yang belum menyadari gejala awal penyakit Alzheimer. Penyakit ini akan cenderung makin parah seiring bertambahnya usia seseorang. Penyakit ini juga menyebabkan hilangnya intelektualitas dan kemampuan bersosialisasi yang cukup parah sehingga mempengaruhi berbagai aktifitas harian penderitanya.

Penurunan kemampuan fungsi otak ini jelas menimbulkan rasa depresi dan perubahan perilaku pada penderita, sehingga banyak penderita yang mengeluhkan gejala umum dari awal penyakit alzheimer adalah demensia, yaitu penderita mengalami gangguan masalah ingatan atau sering kita sebut sebagai kepikunan. Hal ini diungkap dalam satu studi baru yang diterbitkan dalam jurnal medis American Academy of Neurology. Dalam penelitian tersebut, peneliti mengungkap bahwa selama sakit berlangsung, zat kimia dan struktur otak mengalami perubahan sehingga menyebabkan kematian sel-sel otak.

Begitu seriusnya dampak yang dihasilkan oleh penyakit alzheimer yang mengakibatkan keluhan demensia ini, inilah yang menjadikan pemicu pentingnya peringatan Hari Alzheimer Sedunia, agar menjadi pengingat dan warning bagi kita akan bahaya penyakit Alzheimer. Peringatan hari Alzheimer sendiri telah diselenggarakan sejak tahun 1994 dengan fokus utama untuk mendukung masyarakat dalam mengenali tanda-tanda demensia sekaligus tidak melupakan orang-orang yang menderita demensia di lingkungannya masing-masing.

Bagi orang yang belum pernah melihat orang tua yang sudah mengalami demensia atau kepikunan, pasti akan memandang remeh penyakit ini. Tapi bagi yang sudah pernah melihat bahkan mengalaminya sendiri tentu akan menyadari betapa menderitanya orang yang mengalami demensia ini. Ada pepatah bijak yang berbunyi “Mencengah lebih baik daripada mengobati”, hal inilah yang mendorong saya untuk menulis tulisan ini, bahwa terdapat hubungan yang erat antara kegiatan literasi dan demensia. Walaupun banyak faktor lain yang dapat juga mencegah demensia, seperti menjaga faktor makanan dan aktifitas fisik lainnya.

Namun telah banyak dilakukan penelitian dan para ahli juga sepakat bahwa kegiatan membaca dan menulis (Literasi) yang rutin dilakukan sejak dini dapat mencegah kita dari menderita demensia. Seorang peneliti dari Henry Ford Helath System, Dr. C.Edward Coffey membuktikan bahwa dengan membaca dan menulis, seseorang akan terhindar dari penyakit demensia. Hal ini terjadi karena membaca dapat menciptakan semacam lapisan penyangga yang melindungi dan mengganti perubahan otak. Membaca terbukti menumbuhkan denrit, yaitu salah satu komponen sel saraf otak atau neuron.

Kita juga banyak melihat dan membuktikan sendiri bahwa banyak profesor dan guru besar yang sudah berusia lanjut namun masih segar ingatannya dan tidak terkena demensia karena sering dan masih berkutat dengan berbagai kegiatan literasinya, apakah itu membaca, menulis, mengajar, berdiskusi atau kegiatan lainnya. Mereka cenderung memiliki kebiasaan membaca dan menulis yang aktif, mereka terbiasa mencari referensi dan menantang otaknya untuk terus berpikir, inilah yang membedakannya dengan orang usia lanjut lainnya yang jarang menggunakan kebiasaan literasinya dalam beraktifitas sehari-hari.

Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa mereka yang aktif melakukan kegiatan literasi akan lebih baik dalam menafsirkan isyarat sosial di lingkungan mereka dan lebih dalam memahami orang lain. Kegiatan literasi secara tidak langsung adalah pelatihan otak yang dapat mengarah pada pemrosesan situasi emosional yang lebih baik. Ini sangat bermanfaat pada semua golongan usia, apakah itu anak-anak, remaja, dan orang usia lanjut. Berbagai studi juga membuktikan bahwa orang yang tumbuh dengan tingkat literasi yang tinggi cenderung mencapai pendidikan tinggi, pendapatan yang juga tinggi dan fungsi kognitif yang lebih baik dihari tuanya.

Untuk memulai pola hidup yang erat dengan literasi tentu harus dimulai sejak dini, pembiasaan adalah kata kunci utama dan pertama agar aktifitas tersebut dapat kita jalani dengan enjoy tanpa keterpaksaan. Membiasakan kebiasaan baik dan positif lebih mudah kita lakukan sebelum mencapai usia lanjut. Ada beberapa kegiatan yang dapat mulai kita biasakan dalam menjalankan aktifitas sehari-hari agar jauh dari menderita demensia sejak dini, diantaranya adalah :

1.      Rajinlah membaca setiap hari, kegiatan ini tentu harus dilakukan dengan pembiasaan, buatlah komitmen untuk selalu meluangkan waktu untuk melakukan aktivitas membaca. Tentunya membaca yang positif, karena membaca bahan bacaan yang negatif malah akan menimbulkan kerusakan otak.

2.      Mulailah rutinkan aktifitas menulis, tentu dengan menuliskan apa saja yang disukai. Boleh juga menulis apa yang tidak kita sukai, mulailah publikasikan, atau berbagi tulisan dengan orang lain melalui berbagai saluran yang ada, apakah koran online, grup whatsapp keluarga atau dapat juga menerbitkan buku solo untuk kenang-kenangan seumur hidup.

3.      Lakukan permainan asah otak lainnya, seperti menjawab teka teki silang, menyusun puzzle atau menjawab quis online yang sekarang banyak kita temuai di berbagai situs online di dunia maya atau gadget pribadi, yang gratis atau yang berbayar.

4.      Rutin lakukan olahraga ringan, karena terbukti bahwa aktifitas fisik sangat erat kaitannya dengan aktifitas otak dan mental. Orang yang aktif akan cenderung jauh dari keluhan demensia, sedangkan orang yang jarang beraktifitas fisik akan rentan terhadap serangan demensia dan stroke.

5.      Perbanyak aktivitas kreatif lainnya, tenyata beraktifitas yang kreatif dapat mengurangi emosi negatif dan meningkatkan emosi positif serta membantu menurunkan tingkat stress dan rasa cemas seseorang serta memperbaiki kondisi fisik dan mental.

6.      Lakukan aktifitas yang membuat relaksasi, juga bermanfaat dalam memperbaiki mood setelah melakukan berbagai aktifitas fisik lainnya. Relaksasi dapat dilakukan dengan cara mendengarkan musik, melakukan meditasi, berzikir, dan lain sebagainya.

7.      Tetap lakukan interaksi sosial, tentunya dalam masa pandemi ini kita hanya dapat melakukan interaksi dalam dunia maya atau secara virtual/online yang dibatasi oleh ruang aman. Hal ini tentu untuk tetap mencegah dari penularan pandemi yang semakin meluas ini. Namun secara virtual tidak mengurangi rasa gembira dan mengobati rasa kangen bertemu saudara maupun kerabat lainnya

Akhir kata, mari kita mulai pembiasaan hidup yang sehat, dengan kebiasaan yang positif seperti membiasakan kegiatan berliterasi dilingkungan kita sendiri. Mulailah dengan menyisihkan waktu untuk membangun kebiasaan gemar membaca dengan membangun perpustakaan pribadi dari rumah kita masing masing. Dapat pula dengan membangun aktiftas sosial di lingkungan kita dengan mengambil peran sebagai tokoh penggerak literasi di RT (Rukun Tetangga) atau RW (Rukun Warga), sehingga dapat mulai memupuk pembiasaan berliterasi sejak ini bagi lingkungan kita yang terdekat dan terjangkau.

September adalah bulan Alzheimer Dunia sekaligus adalah Bulan Gemar Membaca di Indonesia. Mari kita bersama lakukan kegiatan sosialisasi dan advokasi serta penyebaran informasi, salah satunya dengan berkegiatan dan menggalakkan literasi di lingkungan kita yang terdekat. Berbagai kegiatan dapat kita lakukan mulai dari penyebaran informasi yang bermanfaat, menampilkan aktifitas para lansia di lingkungan kita yang berkaitan dengan literasi dan penggalangan dana dalam membangun pusat lierasi di lingkungan kita, ayo mulailah berliterasi dan cegah demensi sejak dini, tentunya dengan tetap menerapkan protokol kesehatan ketika beraktifitas di luar rumah. Salam Literasi.

 

 

 

Belum Membaca Berarti Belum Merdeka

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Bulan Agustus baru saja berlalu, namun membicarakan kemerdekaan bukan hanya harus di bulan Agustus saja, apalagi memasuki bulan September ini, kita akan memasuki bulan Gemar Membaca, maka tak ada salahnya saya menulis unek-unek yang mungkin bisa menjadi sebuah renungan bagi kita semua.

Sebagai seorang pustakawan otomatis adalah soerang penggerak literasi, dan literasi adalah awal dari gerakan kemerdekaan itu sendiri.

Tanpa gerakan literasi rasanya mustahil kita dapat merasakan alam kemerdekaan seperti yang sekarang kita nikmati.

Sudah selayaknya kita harus berpikir dan menyadari bahwa kemerdekaan yang telah diproklamirkan 75 tahun yang lalu bukanlah akhir dari perjuangan, namun adalah awal dari perjuangan kita semua untuk mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang akan mengangkat harkat dan derajat bangsa ini di hadapan dunia Internasional.

Telah banyak cara yang ditempuh oleh pemimpin bangsa ini untuk mengisi dan memajukan bangsa ini agar lebih dihargai dan dapat bersanding dengan sejajar di antara negara-negara maju lainnya di dunia, namun kenyataannya masyarakat kita sendiri masih enggan untuk terus berbenah dan mengubah image negatif yang sampai sekarang masih melekat kuat di diri bangsa ini.

Image bangsa ini yang dulunya dianggap primitif dan bodoh akan terus melekat apabila kita tidak terus berusaha dan merawat makna kemerdekaan itu sendiri.

Kemerdekaan yang telah kita nikmati saat ini bukan saja harus kita syukuri, namun juga harus kita rawat dan isi dengan terus melakukan berbagai aktivitas dan terobosan di segala bidang, apalagi bidang yang memang saat ini sedang digalakkan untuk terus ditingkatkan, yaitu gerakan literasi.

Gerakan literasi adalah gerakan inti dalam membangun bangsa ini di segala bidang, tak ada satupun pembangunan yang dapat bergerak dan maju tanpa dibarengi dengan gerakan literasi yang mumpuni.

Bila kita mundur kebelakang dan membaca sejarah, kita pasti tahu bahwa founding father bangsa ini adalah tokoh-tokoh yang sangat gemar membaca. Para pemuda penggagas dan penukung pergerakan kemerdekaan juga adalah para pemuda yang terpelajar yang tinggi tingkat literasinya pada zamannya.

Maka fakta bahwa literasi adalah bahan baku pergerakan dan modal awal untuk mengisi kemerdekaan adalah tidak dapat disangkal lagi. Namun mirisnya adalah bahwa kenyataannya, saat ini tingkat literasi Indonesia masih rendah, bahkan untuk kawasan Asia, Indonesia masih berada di bawah negara tetangga, Malaysia yang merdeka jauh setelah bangsa ini merdeka.

UNESCO pada tahun 2012 pernah merilis bahwa indeks baca masyarakat Indonesia hanya 0.001 (%), yang berarti bahwa diantara 1000 orang, yang benar-benar membaca buku hanya satu orang saja.

Bahkan ada semacam riset yang menyebutkan bahwa anak-anak Indonesia hanya mampu membaca 27 halaman dalam setahun, tentu ini adalah fenomena yang sangat mengerikan dan akan sangat mengkhawatirkan. Karena apa yang kita lakukan saat ini adalah cerminan untuk masa yang akan datang. Apa kabar bangsa ini dengan bonus demografinya kalau tidak kita benahi mulai saat ini juga?

Melansir situs katadata.co, Kementerian Pendidikan dan Budaya (Kemendikbud) RI telah pula menyusun Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca). Kegiatan Alibaca ini meliputi beberapa faktor, yaitu Kecakapan, Akses, Alternatif, dan Budaya. Kategori Indeks Alibaca terbagi atas lima kategori, yakni sangat rendah (0-20,00), rendah (20,01-40,00), sedang (40,01-60,00), tinggi (60,01-80,00), dan sangat tinggi (80,01-100). Dan rata-rata indeks Alibaca nasional berada di titik 37,32%, yang artinya “tergolong rendah”. Data ini semakin menegaskan bahwa bangsa ini harus bergegas mengejar ketertinggalan dengan negara lain dari sisi literasinya.

Melihat kenyataan ini, sudah selayaknya kita saling bahu membahu dan bekerjasama dalam mendukung dan mengembangkan minat baca dan aktivitas literasi lainnya. Kita sebagai warga negara yang cinta pada bangsa ini dan berharap tidak akan ada penjajahan model baru untuk bangsa ini pasti akan segera berupaya dan berusaha untuk membuat perubahan sekecil apapun.

Perubahan ini dapat bermula dari diri sendiri untuk bertekad menumbuhkan minat dan kebiasaan gemar membaca dan menulis, menanamkan semangat kemerdekaan dengan menggunakan produk dalam negeri dan berbagai upaya lainnya yang menumbuhkan dampak yang positif bagi kemajuan bangsa kedepannya.

Padahal bangsa ini dibangun oleh generasi yang cinta baca, Bung Karno dan Bung Hatta adalah dua sosok yang sangat mencintai buku. Kita masih bisa mengingat kata-kata mutiara dari seorang Bung Hatta yang berkata “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas”.

Kita juga masih dapat melacak minat baca Bung Karno yang sangat tinggi dari buku karya Cindy Adams yang menceritakan tentang biografi Bung Karno yang sangat gila baca, sehingga diruangan manapun didalam rumahnya terdapat buku-buku untuk dibaca tak terkecuali didalam toilet rumahnya.

Sungguh paradoks, apabila dizaman sekarang, di mana informasi dan kemudahan mendapatkan akses informasi belum dapat membuat kita untuk mau menambah pengetahuan, utamanya pengetahuan yang berkaitan dengan upaya peningkatan budaya literasi dan gemar membaca.

Kita wajib bercermin pada peradaban bangsa Arab di Mekkah, yang semula dianggap primitif dan sangat tidak berpendidikan bisa berkembang bahkan menjadi cikal bakal berdirinya peradaban Islam yang besar hanya berawal dari perintah Allah, yaitu wahyu pertama Al-Quran, ‘Iqra’. Perintah membaca dalam kitab suci kaum Muslim inilah yang telah menjadikan Mekkah sekarang menjadi salah satu negara yang paling maju di dunia.

Ray Douglas Bradbury, seorang sastrawan berkebangsaan Amerika Serikat pernah berujar “Tidak perlu membakar buku untuk menghancurkan sebuah bangsa, bikin saja orang-orangnya berhenti membaca”.

Ini adalah teguran keras untuk bangsa ini, bangsa yang tingkat literasinya sangat rendah, hanya setingkat lebih tinggi dari Botswana, negara di ujung benua Afrika. Mari baca kembali sejarah bangsa, pelajari strategi perjuangan merebut kemerdekaan dan mulailah berjuang mengembangkan potensi diri yang ada.

Ajak anggota keluarga lainnya untuk mencintai aktivitas literasi dan tanamkan dalam diri untuk terus berjuang melalui tulisan dan prestasi yang positif untuk kemajuan diri, lingkungan dan bangsa.

Kini, di usiaa 75 tahun kemerdekaan, mari kita niatkan dalam diri untuk mengisi kemerdekaan ini dengan mulai membiasakan aktivitas gemar membaca.

Generasi sekarang ini adalah generasi yang melimpah dengan sumber daya informasi dan teknologi, mari kita isi kemerdekaan ini dengan meningkatkan interaksi dan budaya literasi.

Ayo kaum muda, para Milenial harapan bangsa, ayo Ibu, srikandi dalam rumah tangga, dan Ayo Bapak, pahlawan dalam rumah tangga, mari kita bersama dan bergotong royong membumikan gerakan literasi di bulan Gemar Membaca, September. Karena belum membaca berarti belum merdeka. Salam Literasi.[]

*Pustakawati