Sabtu, 11 Juli 2020

Malala dan Literasi Kesetaraan Gender


Malala dan Literasi Kesetaraan Gender
Oleh : Rina Devina
Tepat hari ini tanggal 12 Juli dunia memperingati Hari Malala Sedunia atau World Malala Day (WMD). Peringatan Hari Malala Sedunia ini adalah sebagai bentuk penghormatan dan momen khusus untuk mengingat bahwa setiap perempuan juga berhak untuk mendapatkan pendidikan. Penetapan tanggal ini sebagai hari internasional digagas oleh PBB melalui sekjennya Ban Ki-moon yang bertepatan dengan ulang tahun Malala Yousafzai di markas besar PBB di New York pada tahun 2013 lalu.
Lalu, siapakah Malala Yousafzai?, beliau adalah seorang gadis pejuang pendidikan bagi kaum perempuan yang lahir di Mingora, Lembah Swat, Provinsi Khyber Pakhtunkhwa di barat laut Pakistan. Daerah ini juga merupakan markas besar Taliban Pakistan yang mempunyai aturan pelarangan bersekolah bagi anak-anak perempuan. Malala baru berusia sebelas tahun ketika Taliban melarang Televisi, musik dan pendidikan untuk anak perempuan di negaranya. Padahal Malala telah bercita-cita ingin menjadi seorang Dokter.
Malala mulai di kenal dunia ketika ia mulai menuliskan kisahnya dalam sebuah blog pribadi dengan menggunakan nama samaran demi untuk menjaga keselamatannya. Dalam blognya dia menulis tentang pengalaman pribadinya maupun pengalaman anak perempuan lainnya yang merasa sulit dan sangat dibatasi aksesnya untuk mendapatkan pendidikan dan kesempatan bersekolah. Gadis kecil tersebut menceritakan pengalaman selama hidup dibawah pemerintahan militer Taliban yang kejam dan otoriter.
Tanggal 9 Oktober 2012 adalah hari naas bagi Malala, karena pada hari itu bus sekolah yang ditumpanginya di stop oleh kawanan Taliban yang langsung menembakkan peluru di kepalanya. Awal mula kisah penembakan Malala ini dipicu oleh gerahnya kelompok Taliban yang merasa terancam dengan pemberitaan BBC yang meliput dan memberitakan aktivitas yang dilakukan oleh Malala. Walaupun editor BBC yang memberitkan tentang aktivitas dan tulisan Malala sudah menggunakan nama samaran untuk Malala, namun pihak Taliban berhasil mengetahui siapa yang membuat tulisan yang berjudul asli “Gul Makai” atau Cornflower yang berarti Bunga Jagung dalam bahasa Urdu tersebut.
Setelah sembuh, Malala melanjutkan perjuangannya dengan berbicara di PBB, di Universitas Harvard, bertemu ratu Elizabeth dan berdiskusi dengan Barrack Obama mengenai hak untuk mendapatkan pendidikan. Tahun 2014, ketika berusia 17 tahun Malala mendapat anugerah Nobel Perdamaian atas perjuangannya membela hak anak, khususnya anak perempuan untuk mendapatkan kesetaraan gender dalam hal pendidikan. Malalapun dinobatkan sebagai penerima Nobel Perdamaian dengan usia paling muda di dunia.
Di Indonesia sendiri, kita telah akrab dan lebih dulu mengenal sosok pembawa perubahan kepada kaum perempuan, yaitu Raden Ajeng Kartini (RA Kartini) yang hidup pada tahun 1879-1904. Beliu adalah seorang tokoh di masyarakat Jawa dan Pahlawan nasional Indonesia. Berkat beliaulah tumbuh semangat emansipasi pada kaum perempuan Indonesia. Lalu apa beda emansipasi dan kesetaraan gender?
Menurut Kementerian Pemberayaan Perempuan dan Perlindungan Anak republik Indonesia, emansipasi perempuan adalah persamaan hak bagi perempuan untuk berkembang dan maju dalam segala aspek kehidupan seperti pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya. Sedangkan kesetaraan gender adalah keadaan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam peran kehidupan.
Sekilas, pengertian keduanya memiliki makna yang sama, namun kesetaraan gender dan emansipasi memiliki arti yang berbeda. Kesetaraan gender adalah persamaan kodrat atau persamaan gender dari laki-laki dan perempuan. Tentu saja ini tidak dapat seratus persen sama, apalagi dari segi fisik dan kemampuan akal perasaan, antara laki-laki dan perempuan memang memiliki perbedaan mencolok.
Namun alangkah lebih bijaksana bila kita mengartikan dan memaknai emansipasi atau kesetaraan gender wanita sebagai salah satu bentuk kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam menjalankan kehidupan. Sebagai seorang partner, tentu saja kita mempunyai kedudukan yang sama tinggi dan mempunyai hak yang sama tanpa adanya perbedaan yang memandang keduanya.
Literasi Kesetaraan Gender
UNESCO menjelaskan bahwa kemampuan literasi merupakan hak setiap orang dan merupakan dasar untuk belajar sepanjang hayat. Kemampuan literasi dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu, keluarga, dan masyarakat. Karena sifatnya yang luas tersebut, kemampuan literasi seseorang dapat membantu memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, mengendalikan pertumbuhan penduduk, dan menjamin pembangunan berkelanjutan, serta mewujudkan perdamaian dan kesetaraan.
Jadi, pengertian secara umum dari literasi kesetaraan gender adalah bagaimana kita mempelajari dan memaknai suatu keadaan setara dimana antara pria dan wanita sejajar dalam hak (hukum) dan kondisi (kualitas hidup) adalah sama. Pengertian gender sendiri bermakna pembedaan peran, atribut, sifat, sikap, dan perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dan secara umum, peran gender terbagi menjadi peran produktif, peran reproduksi dan peran sosial kemasyarakatan.
Dan apabila kita membahas tentang kesetaraan gender, masih banyak hal-hal yang saat ini yang menunjukkan belum berjalannya kesetaraan gender yang baik di Indonesia. Hingga hari ini kita masih saja mendengar dan melihat terjadinya kekerasan dan kesenjangan di dunia kerja yang terjadi pada perempuan. Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2019, kekerasan pada perempuan di Indonesia masih menduduki angka yang tinggi bahkan data setiap tahunnya masih menunjukkan peningkatan.
Melansir data pada Indeks Pemberdayaan Gender Badan Pusat Statistk (BPS), penempatan perempuan sebagai tenaga professional di Indonesia pada tahun 2019 masih cukup rendah, indeksnya berada pada kisaran 35% hingga 55% saja. Angka terendah berada di Papua sebesar 35,7%, sedangkan tertinggi berada di Sumatera Barat sebesar 55,4% dan DKI Jakarta sebagai barometer perkembangan perempuan hanya berada pada angka 47,3% saja.
Angka ini baru berbicara soal kesempatan yang diberikan pada perempuan, belum sampai pada membicarakan kesenjangan upah, kesempatan jenjang karir yang lebih tinggi atau fasilitas lain sebagai perempuan. BPS juga mengutarakan bahwa kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan semakin lebar. Upah untuk pekerja laki-laki lebih tinggi bila dibanding dengan pekerja perempuan.
Melansir situs katadata.co.di, World Economic Forum (WEF) mencatat tahun 2020 secara umum skor kesenjangan Gender Global berdasarkan jumlah penduduk berada pada posisi 68,65% yang artinya masih ada 31,45% kesenjangan yang menjadi tugas bersama masyarakat gobal untuk mengentaskan kesenjangan ini. Sedangkan Indonesia berada pada peringkat 85 dalam urusan gender Gap. Indikator kesenjangan tersebut terdiri dari empat dimensi, yaitu kesempatan memperoleh pendidikan, kesehatan, partisipasi ekonomi, dan pemberdayaan politik.

Terdapat kesamaan yang identik antara perjuangan Malala dan RA Kartini, yaitu mereka sama-sama berjuang untuk memperoleh pendidikan dan hak-hak yang setara dengan kaum laki-laki. Selain itu persamaan berikutnya adalah mereka berjuang sama-sama dari dunia literasi, terutama dunia membaca dan menulis. Terbukti bahwa dunia literasi sangat vital untuk mengubah nasib suatu kaum yang dipinggirkan, dari mulai tidak memiliki hak sampai diakui hak-haknya dengan upaya damai tentunya, yaitu melalui dunia literasi. 
Melalui momentum peringatan Hari Malala Sedunia ini, sudah sewajarnya kita mulai membenahi dan memahami peran kesetaraan gender. Semoga kedepannya isu dan tanggungjawab kesetaraan gender ini menjadi tanggungjawab bersama, bukan hanya masalah di Pakistan atau Indonesia, namun juga dunia. Kesetaraan gender bukanlah sebuah ambisi perempuan untuk menyingkirkjan laki-laki, akan tetapi sebuah cara untuk memanusiakan manusia, sudah seharusnya tidak ada yang mendominasi dan tidak ada yang didominasi. Salam literasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar