Malala dan Literasi Kesetaraan Gender
Oleh : Rina Devina
Tepat
hari ini tanggal 12 Juli dunia memperingati Hari Malala Sedunia atau World
Malala Day (WMD). Peringatan Hari Malala Sedunia ini adalah sebagai bentuk
penghormatan dan momen khusus untuk mengingat bahwa setiap perempuan juga
berhak untuk mendapatkan pendidikan. Penetapan tanggal ini sebagai hari
internasional digagas oleh PBB melalui sekjennya Ban Ki-moon yang bertepatan
dengan ulang tahun Malala Yousafzai di markas besar PBB di New York pada tahun
2013 lalu.
Lalu,
siapakah Malala Yousafzai?, beliau adalah seorang gadis pejuang pendidikan bagi
kaum perempuan yang lahir di Mingora, Lembah Swat, Provinsi Khyber Pakhtunkhwa
di barat laut Pakistan. Daerah ini juga merupakan markas besar Taliban Pakistan
yang mempunyai aturan pelarangan bersekolah bagi anak-anak perempuan. Malala
baru berusia sebelas tahun ketika Taliban melarang Televisi, musik dan
pendidikan untuk anak perempuan di negaranya. Padahal Malala telah bercita-cita
ingin menjadi seorang Dokter.
Malala
mulai di kenal dunia ketika ia mulai menuliskan kisahnya dalam sebuah blog
pribadi dengan menggunakan nama samaran demi untuk menjaga keselamatannya.
Dalam blognya dia menulis tentang pengalaman pribadinya maupun pengalaman anak
perempuan lainnya yang merasa sulit dan sangat dibatasi aksesnya untuk
mendapatkan pendidikan dan kesempatan bersekolah. Gadis kecil tersebut
menceritakan pengalaman selama hidup dibawah pemerintahan militer Taliban yang
kejam dan otoriter.
Tanggal
9 Oktober 2012 adalah hari naas bagi Malala, karena pada hari itu bus sekolah
yang ditumpanginya di stop oleh kawanan Taliban yang langsung menembakkan
peluru di kepalanya. Awal mula kisah penembakan Malala ini dipicu oleh gerahnya
kelompok Taliban yang merasa terancam dengan pemberitaan BBC yang meliput dan
memberitakan aktivitas yang dilakukan oleh Malala. Walaupun editor BBC yang
memberitkan tentang aktivitas dan tulisan Malala sudah menggunakan nama samaran
untuk Malala, namun pihak Taliban berhasil mengetahui siapa yang membuat
tulisan yang berjudul asli “Gul Makai” atau Cornflower yang berarti Bunga
Jagung dalam bahasa Urdu tersebut.
Setelah
sembuh, Malala melanjutkan perjuangannya dengan berbicara di PBB, di
Universitas Harvard, bertemu ratu Elizabeth dan berdiskusi dengan Barrack Obama
mengenai hak untuk mendapatkan pendidikan. Tahun 2014, ketika berusia 17 tahun
Malala mendapat anugerah Nobel Perdamaian atas perjuangannya membela hak anak,
khususnya anak perempuan untuk mendapatkan kesetaraan gender dalam hal pendidikan.
Malalapun dinobatkan sebagai penerima Nobel Perdamaian dengan usia paling muda
di dunia.
Di
Indonesia sendiri, kita telah akrab dan lebih dulu mengenal sosok pembawa
perubahan kepada kaum perempuan, yaitu Raden Ajeng Kartini (RA Kartini) yang hidup
pada tahun 1879-1904. Beliu adalah seorang tokoh di masyarakat Jawa dan
Pahlawan nasional Indonesia. Berkat beliaulah tumbuh semangat emansipasi pada
kaum perempuan Indonesia. Lalu apa beda emansipasi dan kesetaraan gender?
Menurut
Kementerian Pemberayaan Perempuan dan Perlindungan Anak republik Indonesia,
emansipasi perempuan adalah persamaan hak bagi perempuan untuk berkembang dan
maju dalam segala aspek kehidupan seperti pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya.
Sedangkan kesetaraan gender adalah keadaan yang sama antara laki-laki dan
perempuan dalam peran kehidupan.
Sekilas,
pengertian keduanya memiliki makna yang sama, namun kesetaraan gender dan
emansipasi memiliki arti yang berbeda. Kesetaraan gender adalah persamaan kodrat
atau persamaan gender dari laki-laki dan perempuan. Tentu saja ini tidak dapat
seratus persen sama, apalagi dari segi fisik dan kemampuan akal perasaan,
antara laki-laki dan perempuan memang memiliki perbedaan mencolok.
Namun
alangkah lebih bijaksana bila kita mengartikan dan memaknai emansipasi atau
kesetaraan gender wanita sebagai salah satu bentuk kerjasama antara laki-laki
dan perempuan dalam menjalankan kehidupan. Sebagai seorang partner, tentu saja
kita mempunyai kedudukan yang sama tinggi dan mempunyai hak yang sama tanpa
adanya perbedaan yang memandang keduanya.
Literasi Kesetaraan Gender
UNESCO
menjelaskan bahwa kemampuan literasi merupakan hak setiap orang dan merupakan dasar
untuk belajar sepanjang hayat. Kemampuan literasi dapat memberdayakan dan
meningkatkan kualitas individu, keluarga, dan masyarakat. Karena sifatnya yang
luas tersebut, kemampuan literasi seseorang dapat membantu memberantas
kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, mengendalikan pertumbuhan penduduk,
dan menjamin pembangunan berkelanjutan, serta mewujudkan perdamaian dan
kesetaraan.
Jadi,
pengertian secara umum dari literasi kesetaraan gender adalah bagaimana kita
mempelajari dan memaknai suatu keadaan setara dimana antara pria dan wanita
sejajar dalam hak (hukum) dan kondisi (kualitas hidup) adalah sama. Pengertian
gender sendiri bermakna pembedaan peran, atribut, sifat, sikap, dan perilaku
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dan secara umum, peran gender
terbagi menjadi peran produktif, peran reproduksi dan peran sosial
kemasyarakatan.
Dan
apabila kita membahas tentang kesetaraan gender, masih banyak hal-hal yang saat
ini yang menunjukkan belum berjalannya kesetaraan gender yang baik di
Indonesia. Hingga hari ini kita masih saja mendengar dan melihat terjadinya
kekerasan dan kesenjangan di dunia kerja yang terjadi pada perempuan. Dalam
catatan tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2019, kekerasan pada perempuan di
Indonesia masih menduduki angka yang tinggi bahkan data setiap tahunnya masih
menunjukkan peningkatan.
Melansir
data pada Indeks Pemberdayaan Gender Badan Pusat Statistk (BPS), penempatan
perempuan sebagai tenaga professional di Indonesia pada tahun 2019 masih cukup
rendah, indeksnya berada pada kisaran 35% hingga 55% saja. Angka terendah berada
di Papua sebesar 35,7%, sedangkan tertinggi berada di Sumatera Barat sebesar
55,4% dan DKI Jakarta sebagai barometer perkembangan perempuan hanya berada
pada angka 47,3% saja.
Angka
ini baru berbicara soal kesempatan yang diberikan pada perempuan, belum sampai
pada membicarakan kesenjangan upah, kesempatan jenjang karir yang lebih tinggi
atau fasilitas lain sebagai perempuan. BPS juga mengutarakan bahwa kesenjangan
upah antara laki-laki dan perempuan semakin lebar. Upah untuk pekerja laki-laki
lebih tinggi bila dibanding dengan pekerja perempuan.
Melansir
situs katadata.co.di, World Economic Forum (WEF) mencatat tahun 2020 secara
umum skor kesenjangan Gender Global berdasarkan jumlah penduduk berada pada
posisi 68,65% yang artinya masih ada 31,45% kesenjangan yang menjadi tugas
bersama masyarakat gobal untuk mengentaskan kesenjangan ini. Sedangkan Indonesia
berada pada peringkat 85 dalam urusan gender Gap. Indikator kesenjangan
tersebut terdiri dari empat dimensi, yaitu kesempatan memperoleh pendidikan,
kesehatan, partisipasi ekonomi, dan pemberdayaan politik.
Terdapat
kesamaan yang identik antara perjuangan Malala dan RA Kartini, yaitu mereka
sama-sama berjuang untuk memperoleh pendidikan dan hak-hak yang setara dengan
kaum laki-laki. Selain itu persamaan berikutnya adalah mereka berjuang sama-sama
dari dunia literasi, terutama dunia membaca dan menulis. Terbukti bahwa dunia
literasi sangat vital untuk mengubah nasib suatu kaum yang dipinggirkan, dari
mulai tidak memiliki hak sampai diakui hak-haknya dengan upaya damai tentunya,
yaitu melalui dunia literasi.
Melalui
momentum peringatan Hari Malala Sedunia ini, sudah sewajarnya kita mulai
membenahi dan memahami peran kesetaraan gender. Semoga kedepannya isu dan
tanggungjawab kesetaraan gender ini menjadi tanggungjawab bersama, bukan hanya masalah
di Pakistan atau Indonesia, namun juga dunia. Kesetaraan gender bukanlah sebuah
ambisi perempuan untuk menyingkirkjan laki-laki, akan tetapi sebuah cara untuk
memanusiakan manusia, sudah seharusnya tidak ada yang mendominasi dan tidak ada
yang didominasi. Salam literasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar