Kota Medan dan Literasi Keuangan Etnis
Tionghoa
Oleh : Rina Devina
Hari
ini, tanggal 01 Juli adalah hari khusus bagi warga kota Medan, karena tepat
hari ini adalah hari Jadi Kota Medan yang ke-430, Sebagai masyarakat Sumatera
Utara, khususnya yang tinggal di daerah Medan dan sekitarnya kita harus tahu
mengenai sejarah singkat kota Medan. Mulai dari awal mula penemuan kota Medan
sampai sejarah singkat hari ulang tahun kota Medan, dan kemajuan serta
perkembangan yang terjadi belakangan ini di kota medan.
Kota
Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara. Sejarah Kota ini berawal dari
sebuah kampung yang didirikan oleh seseorang yang bernama Guru Patimpus di
pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura. Hari jadi kota Medan ditetapkan pada
tanggal 01 Juli 1590. Selanjutnya, pada tahun 1632, Medan dijadikan pusat
Kesultanan Deli, sebuah kerajaan Melayu.
Memasuki
abad ke-20, Medan menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama setelah
pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran. Menurut
Bappenas, Medan adalah salah satu dari empat kota besar sebagai pusat
pertumbuhan yang utama di Indonesia, bersama dengan Jakarta, Surabaya, dan
Makassar.
Kota
Medan kini adalah kota multietnis yang penduduknya terdiri dari orang-orang
dengan latar budaya dan agama yang berbeda-beda. Selain Melayu dan Karo sebagai
penghuni awal, Medan didominasi oleh etnis Jawa, Batak, Tionghoa, Minangkabau,
Mandailing, dan India. Mayoritas penduduk Medan bekerja di sektor perdagangan,
sehingga banyak ditemukan ruko (rumah toko) di berbagai sudut kota.
Berdasarkan
statistik yang diperoleh dari Data Kepenudukan Kota Medan (Desember 2010), masyarakat
etnis Tionghoa menduduki posisi ketiga terbesar dengan jumlah penduduk 202.839
orang di Sumatera Utara (25 persen dari jumlah populasi), khususnya yang berada
di wilayah kota Medan. Etnis Tionghoa banyak dijumpai disetiap sudut kota Medan
yang terdiri dari suku Hokkien, Teochiu,
Khe (Hakka), Canton (Kong Hu) dan Liok
Hong yang masing-masing memiliki perkumpulan sosial, profesi, domisili
serta logat bicara yang berbea-beda pula.
Latar
belakang ekonomi-lah yang menjadikan etnis Tionghoa lebih banyak menetap dikota
Medan. Dan salah satu dari keunggulan yang dimiliki oleh etnis Tionghoa dari
jaman dahulu sampai sekarang adalah keahliannya dalam bidang perdagangan dan
cara mengelola keuangan. Dua hal ini yang menyebabkan etnis Tionghoa dapat
tumbuh subur dan maju sehingga menguasai hampir keseluruhan perekonomian di
Indonesia, khususnya di kota Medan.
Sifat
positif ini tentunya dapat kita pelajari dan adopsi sehingga kita dapat turut
maju dan berhasil dalam sektor perdagangan dan cara mengelola keuangan yang
dalam hal ini saya menyebutnya sebagai literasi keuangan. Pelajaran literasi
keuangan etnis Tionghoa telah ada sejak jaman dahulu kala yang diwariskan
secara turun-temurun dari generasi ke generasi karena etnis Tionghoa masih
sangat memelihara warisan budaya dan memegang teguh adat istiadat di manapun
mereka hidup dan bertempat tinggal.
Literasi
keuangan yang ada pada masyarakat etnis Tionghoa juga telah melekat ke dalam
banyak kisah dan legenda, Kemampuan mengorganisasikan keuangan yang dalam
bahasa Mandarin disebut “Nen Zheng Dun” masih terus dipertahankan karena
dipercaya mampu membawa kesuksesan dan kemakmuran kepada seseorang.
Berikut
adalah beberapa prinsip literasi keuangan yang sesuai dengan prinsip etnis
Tionghoa yang sangat mungkin kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari,
diantaranya adalah :
1. Berhati-hatilah
dalam mengeluarkan uang
Dao De Jing
dalam salah satu tulisan kuno mengatakan bahwa berhati-hati dalam mengeluarkan
uang merupakan hal yang penting dalam hidup. Berhati-hati disini maksudnya adalah
untuk memahami mana yang menjadi kebutuhan dan mana yang menjadi keinginan,
Uang yang kita punyai lebih baik kita gunakan untuk hal-hal yang memang
betul-betul kita butuhkan.
2. Cermati
gaya hidup
Melengkapai
poin diatas, gaya hidup orang Tionghoa kebanyakan lebih sederhana. Mulai dari
memasak dan mengonsumsi makanan di dan dari rumah, menghemat, dan
mengalokasikan dana lebih yang dimiliki untuk ditabung atau ‘diputar’ menjadi
modal bisnisnya. Hal ini tentu sangat baik, sesuai dengan perkataan Dr.
Maoshing Ni, yang berkata “Kesederhanaan membawa kepuasan dan semua hal akan
tumbuh dengan baik”.
3. Menabung
dan berinvestasi
Bila
dibandingkan dengan Negara-negara lain seperti Amerika dan juga Indonesia,
masyarakat Cina lebih sering menabung. Tercatat bahwa masyarakat disana
menabung rata-rata sebesar 46% dari total GDP-nya selama setahun, sementara
orang Indonesia hanya menabung sebanyak 32% dari total GDP-nya (data diambil dari
World Bank). Persentase keterlibatan masyarakat dalam hal investasipun juga
tinggi.
4. Sebisa
mungkin tidak terlibat hutang
Berhutang
menjadi hal yang tidak wajar bagi kebanyakan etnis Tionghoa, kalaupun ada yang melakukannya
itu hanya untuk kepentingan bisnis dan usaha dan bukan untuk gaya hidup. Lebih
baik menabung dan menyisihkan uangnya hingga cukup, dibandingkan melakukan
kredit atau berhutang. Namun, jika memang tidak bisa dihindari, berhutang ke
Bank atau perusahaan pembiayaan bisa atau mungkin dilakukan dengan prinsip
konsistensi dan bertanggungjawab untuk membayarnya.
5. Manajemen
dan perencanaan keuangan yang disiplin
Etnis
Tionghoa mempunyai sebuah peribahasa yang berbunyi sebagai berikut :
“Menyimpang Seinci, Rugi Seribu Batu”. Peribahasa itu berarti kita harus disiplin
(tidak menyimpang) dalam mencatat untung-rugi, pemasukan-pengeluaran, atau
modal-hasil sehingga apa yang kita
terima dan akan atau sudah kita keluarkan dapat tercatat dengan baik dan tidak
akan menimbulkan rugi di kemudian hari. Jack Ma, Pendiri dari e-commerce
terkenal di Cina dan salah satu orang terkaya di dunia, menjalankan prinsip
manajemen keuangan dalam hidupnya, yaitu prinsip 30:30:30. Prinsip ini adalah
mengalokasikan 30% dari pemasukan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, 30%
dialokasikan untuk ditabung, dan 30% dialokasikan untuk investasi atau modal
usaha, dan sisanya 10% disisihkan untuk hal lainnya.
Tidak
ada salahnya belajar dari begitu banyak suku dan etnis mengenai banyak hal,
termasuk mengenai literasi keuangan. Kita dapat belajar banyak dari etnis
Tionghoa yang terkenal pintar dam piawai dalam mengatur dana keuangan yang
mereka miliki, bagaimana cara berhemat, menabung, dan berinvestasi sehingga
uang yang dimiliki tidak terbuang percuma justru bisa ‘beranak-pinak’.
Dibutuhkan
niat yang kuat, determinasi dan konsistensi yang tinggi untuk bisa menerapkan
semua tips dan nasehat diatas, namun yakinlah bahwa siapa yang sungguh-sungguh
pasti berhasil seperti pepatah arab yang berbunyi Man Jadda Wa jadda. Dan
ingatlah satu peribahas Cina Kuno yang berbunyi “The man who moved a mountain
was the one began carrying away small stones” atau “mereka yang bisa
memindahkan gunung adalah mereka yang mulai membawa serta (mulai mengumpulkan) kerikil-kerikilnya”.
Semoga
dengan peringatan momen hari jadi kota
Medan yang ke-430 ini kita dapat menjadi pribadi yang cermat dan bijaksana
dalam mengelola uang dengan terus mengasah keterampilan literasi keuangan kita.
Pelan-pelan rencanakan dan sisihkan untuk masa depan yang bahagia dan sejahtera
dan semoga kita dapat meniru suksesnya etnis Tionghoa dalan berdagang dan
berusaha. Salam Literasi (sumber : berbagai literatur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar