Kamis, 02 Juli 2020

Kota Medan dan Literasi Keuangan Etnis Tionghoa


Kota Medan dan Literasi Keuangan Etnis Tionghoa
Oleh : Rina Devina
Hari ini, tanggal 01 Juli adalah hari khusus bagi warga kota Medan, karena tepat hari ini adalah hari Jadi Kota Medan yang ke-430, Sebagai masyarakat Sumatera Utara, khususnya yang tinggal di daerah Medan dan sekitarnya kita harus tahu mengenai sejarah singkat kota Medan. Mulai dari awal mula penemuan kota Medan sampai sejarah singkat hari ulang tahun kota Medan, dan kemajuan serta perkembangan yang terjadi belakangan ini di kota medan.
Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara. Sejarah Kota ini berawal dari sebuah kampung yang didirikan oleh seseorang yang bernama Guru Patimpus di pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura. Hari jadi kota Medan ditetapkan pada tanggal 01 Juli 1590. Selanjutnya, pada tahun 1632, Medan dijadikan pusat Kesultanan Deli, sebuah kerajaan Melayu.
Memasuki abad ke-20, Medan menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran. Menurut Bappenas, Medan adalah salah satu dari empat kota besar sebagai pusat pertumbuhan yang utama di Indonesia, bersama dengan Jakarta, Surabaya, dan Makassar.
Kota Medan kini adalah kota multietnis yang penduduknya terdiri dari orang-orang dengan latar budaya dan agama yang berbeda-beda. Selain Melayu dan Karo sebagai penghuni awal, Medan didominasi oleh etnis Jawa, Batak, Tionghoa, Minangkabau, Mandailing, dan India. Mayoritas penduduk Medan bekerja di sektor perdagangan, sehingga banyak ditemukan ruko (rumah toko) di berbagai sudut kota.
Berdasarkan statistik yang diperoleh dari Data Kepenudukan Kota Medan (Desember 2010), masyarakat etnis Tionghoa menduduki posisi ketiga terbesar dengan jumlah penduduk 202.839 orang di Sumatera Utara (25 persen dari jumlah populasi), khususnya yang berada di wilayah kota Medan. Etnis Tionghoa banyak dijumpai disetiap sudut kota Medan yang terdiri dari suku Hokkien, Teochiu, Khe (Hakka), Canton (Kong Hu) dan Liok Hong yang masing-masing memiliki perkumpulan sosial, profesi, domisili serta logat bicara yang berbea-beda pula.
Latar belakang ekonomi-lah yang menjadikan etnis Tionghoa lebih banyak menetap dikota Medan. Dan salah satu dari keunggulan yang dimiliki oleh etnis Tionghoa dari jaman dahulu sampai sekarang adalah keahliannya dalam bidang perdagangan dan cara mengelola keuangan. Dua hal ini yang menyebabkan etnis Tionghoa dapat tumbuh subur dan maju sehingga menguasai hampir keseluruhan perekonomian di Indonesia, khususnya di kota Medan.
Sifat positif ini tentunya dapat kita pelajari dan adopsi sehingga kita dapat turut maju dan berhasil dalam sektor perdagangan dan cara mengelola keuangan yang dalam hal ini saya menyebutnya sebagai literasi keuangan. Pelajaran literasi keuangan etnis Tionghoa telah ada sejak jaman dahulu kala yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi karena etnis Tionghoa masih sangat memelihara warisan budaya dan memegang teguh adat istiadat di manapun mereka hidup dan bertempat tinggal.
Literasi keuangan yang ada pada masyarakat etnis Tionghoa juga telah melekat ke dalam banyak kisah dan legenda, Kemampuan mengorganisasikan keuangan yang dalam bahasa Mandarin disebut “Nen Zheng Dun” masih terus dipertahankan karena dipercaya mampu membawa kesuksesan dan kemakmuran kepada seseorang.
Berikut adalah beberapa prinsip literasi keuangan yang sesuai dengan prinsip etnis Tionghoa yang sangat mungkin kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari, diantaranya adalah :
1.      Berhati-hatilah dalam mengeluarkan uang
Dao De Jing dalam salah satu tulisan kuno mengatakan bahwa berhati-hati dalam mengeluarkan uang merupakan hal yang penting dalam hidup. Berhati-hati disini maksudnya adalah untuk memahami mana yang menjadi kebutuhan dan mana yang menjadi keinginan, Uang yang kita punyai lebih baik kita gunakan untuk hal-hal yang memang betul-betul kita butuhkan.
2.      Cermati gaya hidup
Melengkapai poin diatas, gaya hidup orang Tionghoa kebanyakan lebih sederhana. Mulai dari memasak dan mengonsumsi makanan di dan dari rumah, menghemat, dan mengalokasikan dana lebih yang dimiliki untuk ditabung atau ‘diputar’ menjadi modal bisnisnya. Hal ini tentu sangat baik, sesuai dengan perkataan Dr. Maoshing Ni, yang berkata “Kesederhanaan membawa kepuasan dan semua hal akan tumbuh dengan baik”.
3.      Menabung dan berinvestasi
Bila dibandingkan dengan Negara-negara lain seperti Amerika dan juga Indonesia, masyarakat Cina lebih sering menabung. Tercatat bahwa masyarakat disana menabung rata-rata sebesar 46% dari total GDP-nya selama setahun, sementara orang Indonesia hanya menabung sebanyak 32% dari total GDP-nya (data diambil dari World Bank). Persentase keterlibatan masyarakat dalam hal investasipun juga tinggi.
4.      Sebisa mungkin tidak terlibat hutang
Berhutang menjadi hal yang tidak wajar bagi kebanyakan etnis Tionghoa, kalaupun ada yang melakukannya itu hanya untuk kepentingan bisnis dan usaha dan bukan untuk gaya hidup. Lebih baik menabung dan menyisihkan uangnya hingga cukup, dibandingkan melakukan kredit atau berhutang. Namun, jika memang tidak bisa dihindari, berhutang ke Bank atau perusahaan pembiayaan bisa atau mungkin dilakukan dengan prinsip konsistensi dan bertanggungjawab untuk membayarnya.
5.      Manajemen dan perencanaan keuangan yang disiplin
Etnis Tionghoa mempunyai sebuah peribahasa yang berbunyi sebagai berikut : “Menyimpang Seinci, Rugi Seribu Batu”. Peribahasa itu berarti kita harus disiplin (tidak menyimpang) dalam mencatat untung-rugi, pemasukan-pengeluaran, atau modal-hasil sehingga  apa yang kita terima dan akan atau sudah kita keluarkan dapat tercatat dengan baik dan tidak akan menimbulkan rugi di kemudian hari. Jack Ma, Pendiri dari e-commerce terkenal di Cina dan salah satu orang terkaya di dunia, menjalankan prinsip manajemen keuangan dalam hidupnya, yaitu prinsip 30:30:30. Prinsip ini adalah mengalokasikan 30% dari pemasukan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, 30% dialokasikan untuk ditabung, dan 30% dialokasikan untuk investasi atau modal usaha, dan sisanya 10% disisihkan untuk hal lainnya.
Tidak ada salahnya belajar dari begitu banyak suku dan etnis mengenai banyak hal, termasuk mengenai literasi keuangan. Kita dapat belajar banyak dari etnis Tionghoa yang terkenal pintar dam piawai dalam mengatur dana keuangan yang mereka miliki, bagaimana cara berhemat, menabung, dan berinvestasi sehingga uang yang dimiliki tidak terbuang percuma justru bisa ‘beranak-pinak’.
Dibutuhkan niat yang kuat, determinasi dan konsistensi yang tinggi untuk bisa menerapkan semua tips dan nasehat diatas, namun yakinlah bahwa siapa yang sungguh-sungguh pasti berhasil seperti pepatah arab yang berbunyi Man Jadda Wa jadda. Dan ingatlah satu peribahas Cina Kuno yang berbunyi “The man who moved a mountain was the one began carrying away small stones” atau “mereka yang bisa memindahkan gunung adalah mereka yang mulai membawa serta (mulai mengumpulkan) kerikil-kerikilnya”.
Semoga dengan  peringatan momen hari jadi kota Medan yang ke-430 ini kita dapat menjadi pribadi yang cermat dan bijaksana dalam mengelola uang dengan terus mengasah keterampilan literasi keuangan kita. Pelan-pelan rencanakan dan sisihkan untuk masa depan yang bahagia dan sejahtera dan semoga kita dapat meniru suksesnya etnis Tionghoa dalan berdagang dan berusaha. Salam Literasi (sumber : berbagai literatur)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar